..

07 Juli 2023

Sistem Zonasi Menghambat Prestasi. Benarkah?




Sistem zonasi pertama kali diterapkan pada tahun 2017. Dasarnya adalah Permendikbud nomor 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru jenjang SD, SMP, SMA dan yang sederajat. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa sasaran kebijakan sistem zonasi adalah SD negeri, SMP negeri dan SMA negeri. Selain tiga kelompok sekolah tersebut, bebas menerapkan kebijakan penerimaan peserta didik baru secara mandiri.

Sistem zonasi merupakan sistem penerimaan peserta didik baru yang didasarkan pada radius zona domisili calon peserta didik yang terdekat dengan sekolah. Penentuan zonanya diatur oleh pemerintah daerah masing-masing.[1] Regulasi yang digulirkan oleh Muhadjir Effendy selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu mempunyai tujuan yang mulia. Diantaranya percepatan pemerataan akses dan kualitas layanan pendidikan. Selain itu pemerintah ingin menghapus “kasta” dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tidak boleh lagi ada label sekolah favorit dan tidak favorit.

 

Sistem zonasi di mata orang tua

Meskipun dari tahun ke tahun pemerintah telah melakukan penyempurnaan aturan pelaksanaan sistem tersebut, faktanya masalah baru selalu bermunculan. Kerancuan dalam penafsiran kebijakan oleh pemerintah daerah dan pimpinan sekolah adalah salah satu penyebabnya. Perbedaan dalam memahami dan menerapkan kebijakan dari pemerintah pusat memberi celah bagi calon peserta didik untuk bertindak curang.

Keinginan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri favorit pilihannya, seringkali membuat para orang tua melakukan segala cara agar cita-cita mereka terpenuhi. Termasuk menempuh cara-cara yang tidak jujur. Ada yang memalsukan surat keterangan domisili, kartu keluarga, sampai dengan menggeser titik lokasi di google maps agar bisa masuk zona sekolah yang diinginkan.

Orang tua menyekolahkan anaknya berarti memberinya fasilitas dan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Tujuannya agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang beriman, berilmu dan berakhlak. Tetapi, bagaimana mungkin, orang tua menginginkan anak-anaknya kelak menjadi insan yang jujur sementara cara yang ditempuh jauh dari prinsip kejujuran. Mereka ingin anak-anaknya berakhlak baik tetapi para orang tua justru memberikan contoh akhlak yang buruk.

 

Sistem zonasi bagi sekolah negeri

Tidak hanya muncul dari eksternal sekolah, penerapan sistem zonasi juga banyak dikeluhkan oleh pihak internal sekolah. Bukan karena prosedur dan administrasi pendaftarannya yang merepotkan melainkan lebih pada dampak yang ditimbulkan.

Bagi sekolah negeri, terutama yang selama ini berlabel favorit, sistem zonasi mengakibatkan menurunnya kualitas input peserta didik. Dahulu, sebelum sistem zonasi diberlakukan, sekolah negeri favorit bisa memperoleh input peserta didik berpotensi dan berprestasi dengan sangat mudah. Bahkan stoknya sampai “melimpah ruah”. Mereka tinggal menyaringnya dengan tahapan seleksi yang mereka tentukan secara mandiri.

Hubungan simbiosis mutualisme. Sekolah negeri favorit membutuhkan peserta didik terbaik agar bisa terus menjaga eksistensi prestasi dan prestise sekolah. Sementara peserta didik berprestasi juga butuh sekolah yang benar-benar mampu mengembangkan potensi yang dimiliki dan meningkatkan prestasinya.

Sejak era sistem zonasi dimulai, sekolah negeri mulai sulit mendapatkan stok “bibit unggul”. Memang masih ada peluang melalui jalur prestasi tetapi persentase kuotanya tentu sangat kecil. Sehingga alih-alih memacu prestasi sekolah, para guru di sekolah negeri kini justru dipusingkan dengan pengelolaan kelas dan pembinaan peserta didik.

Barangkali karena mereka terlalu lama berada di zona nyaman. Menikmati asyiknya mengajar peserta didik unggulan. Anak-anak yang mempunyai intelegensi di atas rata-rata, motivasi belajar tinggi, dan kondisi ekonomi orang tua mapan, tentu tugas guru menjadi lebih ringan. Cukup sedikit sentuhan dan polesan maka butiran-butiran mutiara itu akan mengilap. Ibarat mesin, hanya dengan sekali klik tombol di remote control maka mesin akan berjalan seperti yang mereka inginkan.

Berbeda dengan kondisi sekarang. Sekolah negeri kini tidak lagi menjadi muara anak-anak yang terlahir dengan bakat luar biasa. Karena sebagian besar yang masuk adalah para “tetangga” sekolah yang mempunyai tingkat kecerdasan beragam. Latar belakang ekonomi dan sosial keluarga juga bermacam-macam. Mengajar peserta didik dengan kondisi heterogen seperti itu tentu jauh lebih sulit dan menantang. Butuh kreativitas, kerja keras dan kesabaran tinggi. Kondisi inilah yang mereka keluhkan.


Keluhan sistem zonasi di sekolah swasta

Bagaimana dengan sekolah swasta? Ternyata keluhan muncul juga. Terutama dari sekolah swasta yang “kurang punya nama”. Penyebabnya adalah jumlah penerimaan peserta didik baru yang semakin menurun. Mereka berdalih, penerapan sistem zonasi menjadi biang keladinya.

Selama ini salah satu target pasar mereka yakni para calon peserta didik dengan nilai akademik pas-pasan dan kalah bersaing masuk sekolah negeri. Kebutuhan akan kuantitas input peserta didik membuat sekolah swasta menerapkan aturan persyaratan dan sistem seleksi masuk yang sangat ringan. Kualitas calon peserta didik belum menjadi prioritas.

Setelah sistem zonasi diterapkan, calon peserta didik yang selama ini menjadi target pasar mereka kini mempunyai peluang besar masuk sekolah negeri. Apalagi jika lokasi sekolah swasta berdekatan dengan sekolah negeri. Tentu persaingan memperebutkan calon peserta didik baru semakin berat. Akhirnya, tidak sedikit sekolah swasta yang sepi peminat bahkan terancam gulung tikar.

 

 Lantas, bagaimana solusi menghadapi kebijakan sistem zonasi ?

Benarkah sistem zonasi hanyalah sebuah kebijakan yang merepotkan? Sekali lagi, perlu dipahami dan diingat tujuan sistem itu diterapkan. Kalau sekolah hanya mau menerima peserta didik yang berkualitas, lantas mereka yang kemampuannya terbatas harus mencari sekolah di mana? Kalau guru mengeluh menghadapi peserta didik yang lambat dalam menyerap materi pelajaran, lalu apa sebenarnya fungsi profesi yang dia sandang?

Bukankah yang membutuhkan bimbingan, arahan dan pengajaran ekstra adalah anak-anak dengan keterbatasan kemampuan? Perhatian lebih juga harusnya ditunjukkan oleh guru dan pimpinan sekolah kepada para peserta didik dari keluarga kurang mampu ataupun broken home. Karena memang itulah fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan dan guru sebagai pendidik.

Bagi sekolah swasta, semestinya tidak perlu takut dengan sistem zonasi. Kalau ingin berkembang dan besar maka sekolah harus mendapat kepercayaan dari masyarakat. Agar dipercaya masyarakat maka sekolah harus memberikan layanan pendidikan yang prima. Layanan pendidikan yang prima tidak selalu harus bergantung dari kebijakan pemerintah.

Inovasi dan kreativitas dalam menyusun program yang menjadi unggulan sekolah sangat diperlukan. Sekolah perlu melihat ke dalam, mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Lalu menatap keluar, meneropong potensi lingkungan dan ancaman dari pesaing. Dari situ bisa dirumuskan langkah-langkah strategis untuk memajukan sekolah. Dalam hal ini, pimpinan sekolah juga harus mengajak para stakeholder untuk duduk bersama.

Jika selama ini sekolah swasta cenderung sulit bersaing dalam bidang prestasi akademik maka mereka bisa fokus dalam program pengembangan bidang nonakademik. Misalnya pembinaan prestasi olahraga, pengembangan keterampilan dan kewirausahaan atau pembinaan bidang kesenian. Dari sekian banyak potensi yang dimiliki, sekolah bisa mengangkat satu bidang untuk dijadikan program unggulan. Kalau sekolah konsisten dalam menjalankan programnya maka itu bisa menjadi school branding.

School branding tidak hanya melalui kegiatan prestasi tetapi bisa juga kegiatan nonprestasi. Program pembiasaan karakter yang menjadi budaya sekolah bisa diangkat menjadi keunggulan dan brand sekolah. Misalnya sekolah ramah anak, sekolah jujur, sekolah bersih, sekolah berakhlak dan lain-lain.

Seperti dua sisi mata uang. Segala sesuatu pasti ada sisi baik dan buruknya. Postif dan negatif, manfaat dan mudarat. Apa yang kita rasakan tergantung dari cara pandang kita terhadap suatu masalah. Jika kita berpikir positif maka insyaallah hal-hal baik yang akan kita terima. Sebaliknya jika pikiran kita dipenuhi dengan prasangka-prasangka buruk maka bisa jadi hal-hal tidak baik yang akan datang dalam hidup kita. Naudzubillah min dzalik.

Jadi, daripada kita berlarut-larut menangisi sistem zonasi, lebih baik kita kerahkan energi kita untuk mencari solusi yang inovatif dan progresif.

***




[1] Khadowmi, E. R. (2019). Implementasi Kebijakan Sistem Zonasi terhadap Proses Penerimaan Peserta Didik Baru Kabupaten Lampung Tengah. In Thesis. Lampung: Universitas Bandar Lampung.

 

0 comments:

Posting Komentar