..

Buku Antologi Esai dan Opini

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Berbagai Genre

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Kisah Nyata Inspiratif

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

Buku Antologi Narasi Eksposisi

Minat Baca Bukunya? Silahkan DM akun instagram @bud11smail

17 Maret 2024

Sikapmu Mengangkat Derajatmu

 



Ucapkan dan lakukan perbuatan yang baik agar kebaikan akan mengiringi langkah dalam hidup kita

 

Tepat tengah hari, terik matahari terasa begitu menyengat kulit. Mobil Firman sampai di halaman sebuah kantor perusahaan. Setelah parkir di area yang sudah disediakan untuk tamu, Firman turun dari mobil tanpa menunggu sopir pribadinya membukakan pintu. Sopir pribadi Firman bernama Roni, pemuda berusia 25 tahun yang hanya lulusan SMA.

Melihat majikannya sudah keluar dari mobil, Roni bergegas turun dan menghampiri Firman untuk membawakan tas yang dijinjingnya. Tawaran Roni ditolak oleh Firman. “Udah, gak usah. Biar aku bawa sendiri aja. Sekarang kamu boleh istirahat, nanti kalau aku udah mau pulang, aku telepon.” ucap Firman sambil tetap melangkahkan kaki menuju lobi kantor.

Roni tidak kaget dengan sikap majikannya. Sudah empat tahun lebih ia bekerja menjadi sopir pribadi Firman. Tentu ia sangat paham sifat dan kebiasaan majikannya itu. Seorang eksekutif muda yang tajir, berwibawa dan dihormati semua orang. Meski usianya belum genap 35 tahun dan masih menyandang status lajang tetapi Firman sudah menunjukkan kematangan dan kedewasaan dalam bersikap.

Firman mempunyai banyak asisten yang siap membantunya dalam bekerja dan melakukan aktifitas sehari-hari, tetapi bukan berarti ia selalu tunjuk sana tunjuk sini. Jika bisa melakukannya sendiri, kenapa harus menyuruh orang lain? Begitu prinsip hidup yang dipegang Firman.

Begitu memasuki kantor, semua orang yang ditemuinya melontarkan senyuman dan menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada Firman. Meski sudah setahun lebih tak berkantor di sana karena ia dipindahtugaskan ke kota lain, tetapi kharisma dan wibawanya masih terasa begitu kuat.

“Selamat siang, Pak Firman.” sapa seorang office boy yang kebetulan berpapasan dengan Firman. Ia lalu mengulurkan tangan ke arah office boy tersebut untuk mengajaknya berjabat tangan. “Siang, Mas Didin. Gimana kabarnya?” sambut Firman dengan raut muka penuh keramahan. Mereka lalu berbincang hangat layaknya sahabat yang lama tak berjumpa. Nyaris tak nampak perbedaan jabatan di antara keduanya.

Firman memang akrab dengan semua karyawan di kantornya. Bahkan ia hafal semua nama anak buahnya. Padahal jumlahnya ratusan. Tak jarang ia terlihat ngobrol santai dengan karyawannya. Begitu cara Firman menjalin komunikasi dengan orang-orang yang menjadi bagian dari timnya. Selain membangun keakraban, dengan cara itu ia juga bisa dengan cepat mendengarkan masukan atau masalah yang terjadi di perusahaan yang ia pimpin.

“Terima kasih, Pak Firman. Selama ini telah memberikan banyak pelajaran hidup bagi saya.” ucap Didin.

“Oh ya, memang saya pernah ngasih pelajaran apa sama Mas Didin?” jawab Firman penasaran. “Padahal saya bukan guru, lho.” sambungnya bercanda.

“Ada dua kebiasaan Pak Firman yang selalu saya ingat.”

“Apa itu?”

“Saat memberikan perintah, Pak Firman selalu mengawalinya dengan kata tolong. Dan sering mengatakan kata maaf.”

Firman tiba-tiba terdiam mematung. Ia terharu dengan apa yang baru saja dikatakan Didin. Bahkan sama sekali ia tak menyadarinya. Kata yang begitu sederhana itu ternyata membekas kuat dalam ingatan Didin, anak buahnya.

 

***

Selain intonasi dan gesture kita dalam memberikan perintah, diksi yang kita pakai juga berpengaruh terhadap respon orang lain yang sedang kita beri perintah atau instruksi. Respon yang kita inginkan tentu respon yang positif. Yang kita harapkan pasti orang lain mau melaksanakan apa yang kita perintahkan dengan sungguh-sungguh. Caranya?

 Salah satunya mengawali kalimat perintah yang kita ucapkan kepada orang lain dengan kata ‘tolong’. Tolong, satu kata yang mungkin terdengar sangat sederhana dan ringan sekali bagi kita untuk mengucapkannya. Tetapi bisa jadi mempunyai pengaruh luar biasa bagi orang lain yang sedang kita ajak bicara. Lantas, apa pengaruhnya?

Ketika kita memberikan instruksi atau perintah kepada orang lain dan memulainya dengan kata ‘tolong’ maka kita menempatkan mereka tidak sebagai bawahan kita. Tetapi kita memposisikan mereka sejajar dengan kita. Itu juga berarti mereka tidak semata-mata kita akui sebagai bawahan tetapi mitra kerja. Kok bisa?

Sekarang, mari kita bedakan dua kalimat ini. “Bersihkan lantai itu, Pak!” dan “Tolong, bersihkan lantai itu, Pak!” Dua kalimat itu sama-sama memberi perintah. Tetapi mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kalimat kedua lebih mempunyai rasa hormat dan menghargai orang lain. Lebih halus dibanding kalimat yang pertama.

Ketika kita mengawali kalimat perintah dengan kata ‘tolong’ berarti kita sedang meminta bantuan atau pertolongan. Tidak sekadar menyuruh atau memerintah. Orang lain yang sedang kita beri perintah pun cenderung lebih ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Kenapa? Karena mereka tidak merasa sedang diperintah melainkan dimintai pertolongan. Bagi mereka itu merupakan sebuah kehormatan. Dimintai tolong oleh seorang atasan.

Memerintah tanpa merendahkan. Meminta maaf meski tak berbuat kesalahan. Dua Tindakan yang ketika kita lakukan tidak membuat derajat dan harga diri kita turun tetapi justru sebaliknya. Ketika kita menghargai orang lain maka orang lain akan menghargai kita. Dan ketika kita menghormati orang lain, mereka juga akan menghormati kita.

Begitulah kehidupan. Apa yang kita ucapkan akan kembali kepada kita dan apa yang kita lakukan juga akan berbalik pada diri kita. So, ucapkan dan lakukan tindakan yang baik agar kebaikan akan mengiringi hidup kita.

 

***

Jendela inspirasi:

1.      Perbuatan sederhana namun bermakna jauh lebih baik daripada tindakan besar yang tiada guna.

2.     Apapun yang kita ucapkan dan lakukan akan kembali kepada kehidupan kita. Jadi hiasai tutur kata dan tingkah laku kita dengan kebaikan.

***


Catatan : Gambar hanya ilustrasi, diambil dari rencanamu.id

27 Januari 2024

Belajar Hidup Sederhana dari Orang Cina

 



Jika hidup sederhana bisa bahagia, kenapa harus menyusahkan diri dengan berpura-pura kaya?

 

Halan mulai merasa lega. Matanya yang sejak tadi sulit ia buka karena mengangtuk berat, kini bisa ia buka lebar-lebar. Penat yang ia rasakan kini mulai sirna. Terguncang-guncang di dalam mobil selama delapan jam menyusuri jalanan kota. Perjalanan yang amat melelahkan. Tetapi itu tak seberapa bila dibandingkan dengan kebahagiaan pulang ke kampung halaman, Bertemu dengan ibu yang sudah ia rindukan.

Perasaannya campur aduk. Bahagia dan terharu. Mulutnya tersenyum tetapi bola matanya berkaca-kaca. Di kejauhan, samar-samar mulai terlihat gapura perbatasan desa yang juga menjadi gerbang masuk tanah kelahirannya. Meski sudah sepuluh tahun tidak ia lewati, tetapi Halan masih hafal betul jalan itu. Wajar karena masa kecil hingga remajanya ia habiskan di sana.

Halan meminta sopir pribadinya agar melambatkan laju mobil. Ia ingin menikmati suasana di sepanjang jalan masuk desa itu. Sambil memutar memorinya kembali ke masa lalu. Deretan bangunan di sepanjang jalan itu ia amati satu per satu. Hampir semua berubah. Semakin terlihat mewah dan megah. Kecuali tiga kios di kompleks ruko yang ternyata tampilannya masih sama persis seperti sepuluh tahun yang lalu.

Halan pun tidak kesulitan mengingat siapa pemilik tiga kios tersebut. Ya, tiga kios yang masing-masing berjualan kue, peralatan listrik dan agen koran itu dimiliki oleh satu keluarga keturunan Tionghoa. Kios itu sudah berdiri puluhan tahun. Bahkan saat Halan kecil, kios itu sudah berdiri di sana.

Pernah suatu hari saat Halan membeli koran, ia sempatkan ngobrol dengan pemiliknya. Om Wang, begitu orang-orang biasa menyapanya. Halan menanyakan alasan kenapa tidak mau merenovasi kiosnya, atau sekedar mengganti catnya agar lebih fresh dan menarik. “Kenapa aku harus membebani diriku untuk melakukan sesuatu yang aku sendiri belum mampu?” jawab Om Wang dengan santai. “Dengan tampilan begini saja, kiosku sudah ramai. Ngapain tak bikin megah. Nanti malah orang-orang bingung dikira kiosku pindah” sambungnya memberi penjelasan. 

***

Kalau kita cermati apa yang dikatakan Om Wang sebenarnya itu bagian dari strategi bisnisnya. Pertama, tidak mau mengganti tampilan kios merupakan salah satu bentuk strategi product positioning. Positioning produk adalah salah satu tindakan yang dilakukan perusahaan untuk membuat produknya selalu diingat oleh customer.

Menurut Kotler dan Keller (2009), positioning adalah pengaturan produk untuk menduduki tempat yang jelas, berbeda, dan diinginkan dibandingkan produk pesaing dalam pikiran konsumen sasaran.[1] Tujuan dari positioning adalah untuk menempatkan merek dalam pikiran konsumen guna memaksimalkan manfaat potensial bagi perusahaan. Dengan tidak mengubah tampilannya, para pelanggan Om Wang akan sangat mudah menemukan kiosnya, meskipun kios-kios di sekitarnya telah berubah wajah.

Kedua, dengan tidak merenovasi bangunan kiosnya sehingga tampilannya masih tetap terlihat klasik, sederhana dan jauh dari kategori modern maka Om Wang terhindar dari pajak bangunan yang tinggi. Bukankah ini juga bagian dari penghematan pengeluaran?

Tidak hanya tentang strategi bisnis yang memang orang-orang Cina adalah jagonya, prinsip hidup mereka juga patut kita jadikan referensi. Ada sebuah “rumus” yang dipegang kuat oleh Om Wang dan keluarganya. Apa itu? Berapapun penghasilan yang ia dapatkan maka harus dibagi menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk makan, sepertiga untuk saving dan sepertiga lainnya untuk investasi.

Rumus hidup tersebut telah mereka terapkan bertahun dan diajarkan secara turun temurun. Itulah yang membuat bisnis mereka tetap survive di saat para pengusaha di sekelilingnya banyak yang gulung tikar.

Di tengah zaman yang semakin maju dan modern, kita sering terjebak ke dalam gaya hidup hedonisme. Mencari kesenangan tanpa batas hingga lupa bahwa ada hidup dan kehidupan selanjutnya yang harus mereka persiapkan. Seringkali berapapun uang yang kita dapatkan, habis untuk urusan perut dan kesenangan.

Banyak dari kita membeli sesuatu berdasarkan keinginan bukan karena kebutuhan. Bahkan tidak jarang hanya karena alasan gengsi dan status sosial. Parahnya lagi, hal itu mereka lakukan di luar batas kemampuan finansialnya. Mencari pinjaman adalah solusi instan yang mereka ambil tanpa memikirkan bagaimana caranya pinjaman itu akan mereka kembalikan. Resiko terberatnya, cash flow usahanya terganggu, bisnisnya tidak berkembang hidupnya mulai dilanda kesulitan dan ending-nya aset yang mereka miliki akan habis terjual.

Sebagai umat beragama seharusnya kita patuh dengan apa yang telah diajarkan oleh agama kita. Termasuk ajaran tentang hidup sederhana. Tidak ada satu pun agama di dunia ini yang memerintahkan umatnya untuk hidup boros atau bermewah-mewahan.

Bagi umat Islam, Alquran telah mengajarkan kita untuk menghindari hidup boros. "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al Isra [17]: 27). Allah juga melarang hamba-Nya untuk hidup bermewah-mewahan. Bahkan dengan ancaman siksaan yang berat. “Di akhirat orang yang hidup bermewah-mewahan akan minta tolong atas siksaan yang ditimpakan” (Al Mukminun [23]:64).

“Kenapa aku harus membebani diriku untuk melakukan sesuatu yang aku sendiri belum mampu”. Perkataan Om Wang itu memberi pesan kepada kita, Jika hidup sederhana bisa bahagia, kenapa harus menyusahkan diri dengan berpura-pura kaya?

***

Jendela inspirasi:

1.     Hidup mewah di luar batas kemampuan hanya akan mempersulit diri sendiri. Karena justru pola hidup sederhana akan membuat kita merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

2.    Membeli berdasarkan kebutuhan akan mendapatkan manfaat. Sedangkan membeli berdasarkan keinginan semata berpotensi memunculkan mudarat.

***

Budi Ismail, seorang guru, wirausahawan dan penulis. Bisa dihubungi melalui email dimaskreatif@gmail.com, Instagram @bud11smail atau Facebook @Budi Ismail.



[1] Philip Kotler dan Kevin Lane Keller. 2009. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Erlangga.

 sumber gambar: kompas.com

26 Januari 2024

Tradisi Buwuhan dan Pergeseran Nilai di Masyarakat

 


Hiasi setiap kebaikanmu dengan ketulusan. Niscaya kebaikan lain akan datang dalam hidupmu dari arah yang tak pernah kau perkirakan.

 

Sudah setengah jam lebih, Herman duduk sendirian di teras sebuah rumah. Lelaki paruh baya itu masih sabar menunggu sang pemilik rumah keluar untuk menemuinya. Sebatang rokok terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Sesekali dihisapnya rokok itu dalam-dalam agar kejenuhan dan rasa kantuknya segera menghilang.

Hari itu sudah lima rumah ia datangi tetapi tak seorang pun berhasil ia temui. Semua pintu terkunci rapat sementara sang pemilik rumah memilih berdiam di dalam atau sengaja pergi menghindar agar tidak bersua dengan juru tagih yang "menyeramkan" itu.

Bagi Herman, jika bukan karena tugas kantor pasti tak sudi ia berlama-lama menunggu seorang diri. Bergegas pulang, menikmati sore, bercengkerama bersama anak dan istri, menjadi kegiatan yang menyenangkan baginya. Tetapi ia tak bisa segera melakukannya karena harus memenuhi target setoran angsuran. Apalagi hari itu sudah memasuki akhir bulan.

Di kampung yang mayoritas warganya bekerja sebagai buruh pabrik itu, belasan kepala keluarga menjadi nasabahnya. Besar pinjamannya beragam, mulai dari Rp500.000,00 hingga Rp3.000.000,00. Angsuran dibayar setiap hari sebanyak 15 kali. Meskipun biaya administrasinya besar dan bunga pinjamannya “mencekik leher” tetapi model pinjaman seperti itu mereka pilih karena prosedurnya mudah dan persyaratannya ringan. Dengan hanya bermodal fotokopi KTP, pinjaman akan cair tak lebih dari dua hari kerja.

Rokok Herman sudah hampir habis seiring kesabarannya yang juga mulai menipis. Saat dia hendak beranjak dari rumah itu, tiba-tiba datang seorang wanita dengan mengendarai sepeda motor bersama dengan dua anak kecil. Yang masih balita ia gendong sedangkan yang agak besar duduk di jok belakang. Dilihat dari fisiknya, wanita itu masih berusia cukup muda, kurang dari 30 tahun. Namanya Zaskia Meilasari, tetangganya memanggil dengan sebutan Memei. Dialah sang pemilik rumah, orang yang sedang ditunggu Herman.

Herman gembira karena merasa penantiannya tak berakhir sia-sia dan tidak jadi pulang dengan tangan kosong. Sebaliknya wanita itu tampak kaget dan bingung melihat Herman masih ada di rumahnya. Terbayang olehnya umpatan dan kata-kata kasar akan keluar dari mulut Herman seperti yang sering ia terima ketika juru tagih itu datang meminta uang angsuran dan Memei hanya bisa memberikan janji.

“Eh, yang ditunggu akhirnya datang juga,” sapa Herman dengan logat khasnya sebagai orang Batak, menyambut kedatangan Memei sembari bangkit dari tempat duduknya.

“Iya Pak Herman, ini habis menjemput anak pulang sekolah,” balas Memei dengan rona yang menampakkan kebingungan.

Siang itu, Memei harus menyediakan uang Rp875.000,00 untuk membayar angsuran hari itu dan dua hari sebelumnya yang belum ia bayar. Nominal sebesar itu sudah termasuk bunga pinjaman dan denda keterlambatan. Memei yang seorang ibu rumah tangga dengan dua anak dan bersuami seorang buruh harian di home industry milik tetangganya memang sangat kesulitan untuk memenuhi kewajibannya membayar angsuran. Selama ini gaji yang diperoleh suami Memei menjadi tumpuan satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan harian keluarganya.

Dengan pola hidup sederhana yang diterapkan Memei, sebenarnya penghasilan suaminya sudah cukup untuk menafkahi keluarganya. Yang menyebabkan dia akhirnya terjebak dalam lilitan utang riba adalah karena harus mengeluarkan sumbangan untuk kerabatnya yang mengadakan hajatan pernikahan.

Tradisi yang berlaku di kampung itu, siapa pun yang pernah menerima sumbangan saat mengadakan hajatan maka wajib baginya mengembalikan kepada sang pemberi sumbangan. Pengembalian itu dilakukan dalam bentuk dan nilai yang sama ketika sang pemberi sumbangan sedang punya hajat

Memei yang tiga bulan sebelumnya menggelar acara syukuran khitanan anak sulungnya, harus mengeluarkan banyak uang untuk memberikan sumbangan kepada beberapa tetangganya yang mengadakan hajatan. Dengan penghasilan suaminya yang pas-pasan tentu ia harus mencari sumber lain untuk mendapatkan uang sesuai yang ia butuhkan untuk menyumbang. Rentenir yang berlabel koperasi akhirnya menjadi solusi instan bagi masalah keuangannya.

“Gimana bu, sudah ada uangnya?” tanya Herman menagih. Setelah lama menunggu, ia tak mau basa-basi dan ingin agar urusannya dengan Memei segera selesai.

“Maaf Pak Herman, saya belum ada uang. Suami saya belum pulang.” jawab Memei sambil gemeteran. Belum sempat ia turun dari motor. Hanya anak sulungnya yang sudah bergegas masuk ke dalam rumah. Air mulai keluar dari sudut matanya, mengalir membasahi kedua pipinya.

“Lha terus gimana, Bu? ini kan sudah akhir bulan. Ibu harus membayar semua tunggakan ibu sampai hari ini.” Herman sudah mulai menampakkan karakter aslinya, keras dan galak.

“Kalau ibu tak ada uang, kasih aku barang yang ibu punya,” lanjut Herman menggertak.

Memei semakin bingung. Ia sama sekali tak punya uang untuk membayar angsuran pinjamannya. Kalau pun harus membayarnya dengan barang, barang apa yang ia serahkan. Perabotan di rumahnya pun juga tidak banyak. Diliputi perasaan takut membuat Memei tak bisa berpikir jernih. Tanpa pikir panjang, ia melepas cincin emas yang ada di jari manisnya. Itu adalah cincin pemberian suaminya ketika mereka melangsungkan pernikahan.

“Ini kamu bawa cincin ini. Besok kalau saya sudah punya uang, tolong kembalikan cincin itu kepadaku,” ucap Memei sambil menyerahkan satu-satunya perhiasan yang melekat di tubuhnya kepada Herman. Herman hanya diam tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dimasukkannya cincin itu ke saku bajunya lalu bergegas pergi meninggalkan Memei yang masih berlinang air mata sambil mengelus-elus sang buah hati yang terlelap dalam gendongannya.

***

Di kalangan masyarakat Jawa berkembang tradisi buwuh atau buwuhan. Menurut Isnaini Rahmat sebagaimana dikutip oleh Sunarto bahwa tradisi atau budaya buwuhan sering diartikan sebagai pemberian sumbangan baik berupa barang atau uang kepada pihak yang sedang menyelenggarakan hajatan atau pesta.[1] Adapun sumbangan yang berupa barang tersebut biasanya berupa rokok atau kebutuhan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, sayuran dan lain-lain.

Kata “pemberian” dalam Islam disebut hibah. Hibah menurut bahasa adalah menyedekahkan atau memberi sesuatu, baik berbentuk harta maupun selain itu kepada orang lain. Menurut istilah syar’i, hibah adalah suatu akad yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta dari seseorang kepada orang lain dengan tanpa balasan, dan dilakukan selama masih hidup.[2]

Awalnya buwuhan adalah bagian dari solidaritas secara kolektif masyarakat desa bagi tetangga atau kerabat yang sedang mengadakan acara atau hajatan tertentu. Hal ini bertujuan untuk mempererat silaturahmi dan memperkuat ukhuwah islamiyah. Selain itu dengan memberikan sumbangan berarti ikut membantu meringankan beban yang punya hajat. Dalam Alquran telah dijelaskan, “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah[5]: 2)[3]

Ketika seseorang menyelenggarakan hajatan, tujuan sebenarnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah. Biasanya dengan mengundang kerabat untuk ikut merayakannya dan menikmati hidangan yang telah disediakan. Jadi tidak bertujuan untuk mengumpulkan uang dan sumbangan dari para tamu. Maka bagi yang diundang, tidak ada kewajiban untuk membawa uang atau memberikan sumbangan.

Akan tetapi jika tamu yang diundang ingin memberikan hadiah sebagai ungkapan selamat dan turut berbahagia maka hal itu sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah saw. pernah bersabda dalam sebuah hadis, “Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari nomor 594).

Seiring dengan modernisasi dan perubahan sosial, konsep buwuhan pun mulai mengalami perubahan dan pergeseran. Buwuhan tidak lagi sebagai bagian dari solidaritas dan bantuan tetapi terdapat prinsip resiprositas. Resiprositas adalah sebuah aktivitas pertukaran yang mengandung unsur timbal-balik antarpelakunya, baik itu individu maupun kelompok.[4]

Berdasarkan realita di masyarakat, ada dua bentuk buwuhan yaitu: pertama, buwuhan yang bersifat sukarela dan tidak mengharapkan pengembalian. Biasanya baik pihak penyumbang maupun tuan rumah tidak mencatat bentuk dan besarnya sumbangan yang diberikan.

Kedua, buwuhan yang dimaknai utang piutang dan suatu saat harus dikembalikan oleh sang penerima ketika sang penyumbang gantian mengadakan hajatan. Sebagian masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah iriban. Agar pengembaliannya sama, biasanya sang penyumbang menuliskan namanya pada buwuhan yang diberikan. Sang penerima pun mencatatnya di buku atau daftar khusus yang telah dipersiapkan.

Dengan adanya perubahan nilai dalam tradisi buwuhan yang dulunya bersifat suka rela bergeser pada upaya pengumpulan materi, berdampak pada dua hal yaitu: pertama, hilangnya semangat gotong royong di masyarakat. Kini uang dianggap sebagai media sumbangan yang jauh lebih praktis daripada barang apalagi jasa. Tradisi rewang yang dulu berkembang di masyarakat, sekarang mulai sirna seiring dengan hadirnya jasa wedding organizer.

 Kedua, beban bagi masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Tradisi “wajib” mengembalikan sumbangan yang pernah diterima tentu bisa sangat memberatkan bagi mereka. Beban berat itu tidak hanya secara finansial tetapi juga psikologis. Ketika buwuh dianggap sebagai lambang kepedulian terhadap lingkungan sekitar maka ketika hal itu tidak dilakukan akan berakibat pada terganggunya hubungan sosial. Padahal lingkungan sosiallah yang akan menjadi “pusat bantuan” ketika suatu saat mereka berada dalam kesulitan.

Menyumbang adalah perbuatan mulia. Apalagi jika bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat dan dilakukan dengan ikhlas tanpa pamrih. Tetapi ketika sumbangan itu dilakukan dengan memberatkan diri sendiri atau menimbulkan masalah dan kesulitan yang lain maka ada yang perlu diperbaiki dan diluruskan. Jangan sampai pergeseran nilai tradisi buwuhan membawa mudarat yang besar bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

Memei mungkin tidak sendirian. Masalah yang dihadapinya bisa jadi juga dialami banyak wanita atau keluarga di luar sana. Kalau itu masalah pribadi mungkin dia sendiri yang bisa menyelesaikannya. Tetapi jika itu menyangkut tradisi di masyarakat maka siapa yang harus melakukannya?


***

Jendela inspirasi:

1.  Ketika kita membantu orang lain hendaknya dilakukan dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan atau balasan.

2.      Pemberian sumbangan yang didasari keikhlasan lebih utama meskipun nilainya sedikit.

3.  Allah akan mencatat semua yang kita lakukan meskipun kita atau orang lain tak sempat menulisnya.

***

sumber gambar : https://repository.radenfatah.ac.id



[1] Sunarto, Budaya Mbecek dalam Perspektif Agama, Sosial dan Ekonomi, (Ponorogo: Prosiding Hasil Penelitian & PPM, 2015), 369

[2] Siah Khosyi’ah, Wakaf & Hibah Perspektif Ulama Fiqh dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 239.

[3] Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), 218.

[4] Sairin, Sjafri dkk. 2002. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Yogyakarta: pustaka Pelajar

15 Oktober 2023

Dari Sihir Afrika Hingga Gereja Maradona

 


Ceceran Kisah yang Jarang Terungkap dalam Sejarah Sepakbola Dunia

(Resume buku yang ditulis oleh Andy Marhaendra)


Dari Sihir Afrika Hingga Gereja Maradona (2010), adalah sekumpulan artikel menarik yang memotret kisah di dalam dan di luar lapangan dalam sejarah sepakbola dunia yang jarang diungkap dan diketahui oleh para penikmat sepakbola. Menikmati sepakbola tidak hanya sebatas mencermati skor pertandingan dan menyoraki pemenangnya. Kisah kehidupan para pelakunya tak kalah menarik dibandingkan dengan film-film box office atau novel bestseller sekalipun. Kisah drama itu pula yang membuat sepakbola tidak pernah kehilangan penggemar dan selalu menarik untuk ditonton.

 

Siapa penulis buku ini?

Andy Marhaendra adalah lulusan Sastra Indonesia di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang cukup lama  berkarir di berbagai media cetak. Di antaranya adalah majalah sepakbola Sportif (Juni 1998-Desember 2003), majalah Tempo (Maret 2004-Oktober 2004) dan Koran Tempo (November 2004-Mei 2009).

 

Untuk siapa buku ini?

  1. Para penggemar sepakbola yang ingin mengetahui lebih dalam tentang catatan sejarah atau kisah para tokoh sepakbola dunia.
  2. Siapapun yang ingin menambah wawasan dan pengetahuan tentang sepakbola.

 

Apa yang dibahas buku ini?

Berbagai drama yang terjadi di balik serunya pertandingan di lapangan hijau dan kisah menarik kehidupan di luar lapangan para pelaku sepakbola dunia.

Sepakbola adalah euforia dunia. Meskipun tidak didukung data resmi, bisa dibilang lebih dari setengah penduduk dunia adalah penggemar sepakbola. Namun, jangan lupakan juga bahwa sepakbola bukan sekadar olahraga permainan 2 x 45 menit di atas hamparan rumput lapangan hijau. Jika ada olahraga yang paling lengkap mewakili dan mengungkapkan berbagai sisi kehidupan, itulah sepakbola. Seperti halnya kehidupan, begitu banyak drama yang terjadi dalam permainan olahraga tua ini. Selebrasi, sensasi, konflik, intrik dan tragedi silih berganti menghiasi aksi para seniman bola memainkan si kulit bundar.

Buku ini diterbitkan di saat masyarakat pencinta sepakbola dunia sedang menanti perhelatan akbar 4 tahunan, World Cup 2010 yang berlangsung di benua Afrika, tepatnya di negara Afrika Selatan. Berbagai kisah baik di dalam maupun di luar lapangan khususnya yang menyangkut tim-tim kontestan pesta sepakbola terbesar di dunia itu diceritakan dengan sangat menarik dalam buku ini.

Hal-hal menarik yang bisa kita pelajari antara lain:

  1. Apa hal positif yang terjadi dari sebuah penyelenggaraan pertandingan sepakbola, khususnya Piala Dunia?
  2. Bagaimana kisah kehidupan para bintang sepakbola dunia?
  3. Apa sisi negatif dari sepakbola yang pernah terjadi?
  4. Bagaimana keluarga dapat mempengaruhi kesuksesan karir pemain sepakbola?

 

Piala Dunia mampu mempersatukan berbagai kelompok, meredakan ketegangan politik dan membangkitkan nasionalisme

Spanyol tak pernah absen melahirkan bakat-bakat besar pemain sepakbola, tetapi sampai Piala Dunia 2006 digelar, Tim Matador – julukan tim nasional Spanyol – belum pernah sekalipun mencicipi manisnya gelar juara dunia. Lantas apa masalahnya ? Nasionalisme. Para pemain yang dipanggil ke tim nasional selalu kesulitan menemukan kohesitas sebagai sebuah tim. Mereka masih merasakan sebagai orang-orang yang berbeda, bukan kesatuan Spanyol. Satu pemain merasa sebagai orang Galisia, yang lain sebagai Catalonia, Castilia atau Basque. “Kepingan” semangat itulah yang ingin disatukan Luis Aragones, pelatih tim Spanyol saat berlaga di Piala Dunia 2010 dan meraih juara untuk pertama kalinya.

Sebagai dua negara bertetangga, Korea Selatan dan Jepang memiliki catatan panjang sejarah kelam di masa lalu, yakni Perang Dunia II dan sengketa wilayah di Kepulauan Dokdo. Saat FIFA menunjuk Korea Selatan dan Jepang menjadi tuan rumah bersama pada Piala Dunia 2002, dunia berharap kedua negara tersebut berdamai dan melupakan masa lalu. Dan, meski “bumbu-bumbu” ketidakharmonisan masih terasa, kedua negara tersebut mampu berkolaborasi sehingga kejuaraan berhasil digelar dengan sukses dan menjadi trendsetter penyelenggaraan Piala Dunia di dua negara.

Sekian lama masyarakat Jerman hidup di bawah bayang-bayang kediktatoran Adolf Hitler. Hal ini membuat mereka malu dan merasa kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa. Bahkan untuk menyanyikan lagu kebangsaan dan mengibarkan bendera negaranya sendiri mereka tidak percaya diri. Tetapi status sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006 menjadi momentum bagi Jerman untuk menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme warga negaranya. David Odonkor dan Gerald Asamoah, dua pemain berkulit hitam pun masuk lapangan dengan gagah dan bangga sebagai bagian dari tim nasional Jerman. Satu pemandangan yang tidak mungkin terjadi di zamannya Hitle

Bagi Ukraina, sepakbola mempunyai makna perlawanan dan nasionalisme. Saat masih bersama Uni Soviet, bahasa Ukraina tertindas oleh bahasa Rusia. Sepakbola menjadi satu-satunya bahasa bagi mereka untuk menunjukkan identitas. Uniknya, dua tokoh bernama Shevchenko menjadi “aktor" bangkitnya semangat nasionalisme orang Ukraina. Shevchenko yang pertama adalah seorang seniman bernama Taras Hryhorovych Shecvhenko yang menggugah kesadaran orang Ukraina lewat ratusan puisi dan lukisan-lukisannya. Dan yang kedua adalah Andriy Shevchenko, striker sekaligus kapten yang membawa tim nasional Ukraina tampil di Piala Dunia untuk pertama kalinya.

Saat kualifikasi Piala Dunia 2006, Serbia-Montenegro masih merupakan satu negara. Tetapi kurang dari sebulan menjelang tampil di putaran final, melalui referendum akhirnya mayoritas masyarakat Montenegro memilih “bercerai” dengan Serbia. Lantas bagaimana dengan skuad yang telah dipersiapkan untuk berlaga di Piala Dunia?. Tim itu berangkat dengan bendera Serbia tetapi ada dua pemain yang berasal Montenegro, yakni kiper Dragoslav Jevric dan stopper Mladen Krstajic. Bukannya dikucilkan atau “dibuang”, 21 kolega Jevric dan Krstajic di tim nasional justru memberi dukungan dan saling menguatkan. Di sini, sepakbola benar-benar telah menyatukan.

Penjara Pulau Robben di Afrika Selatan menyimpan kenangan buruk bagi Nelson Mandela. Di sana, Mandela bersama dengan 1.400 tahanan yang lain menjalani hukuman yang sebagian besar adalah tahanan politik akibat Rezim Apherteid. Mereka merasa harapan dan segala impian telah mati. Hanya satu yang menyisakan gairah kehidupan bagi mereka : sepakbola. Satu-satunya hiburan yang bisa mereka mainkan setiap akhir pekan. Dan ketika Mandela keluar dari penjara, sampai kemudian FIFA memutuskan Piala Dunia 2010 bertempat di Afrika Selatan, ini seperti penghormatan bagi mereka. Tidak hanya orang Afrika Selatan tetapi juga seluruh benua Afrika.

Profesionalisme dan nasionalisme para kontestan Piala Dunia benar-benar diuji. Hal ini karena beberapa dari mereka harus bertarung dengan negaranya sendiri. Zico yang berstatus pelatih Jepang harus menghadapi tanah kelahirannya, Brasil. Sven-Goran Eriksson yang menukangi Inggris, akan melawan bangsanya sendiri, Swedia. Para pemain yang menyeberang ke negara lain demi bisa tampil di Piala Dunia juga harus menunjukkan nasionalisme untuk negara barunya. Mehmet Aurelio (Brasil ke Turki), Pepe (Brasil ke Portugal), Deco (Brasil ke Portugal), dan Marcos Senna (Brasil ke Spanyol) adalah contoh.

Kurang lengkap rasanya bila menggemari sepakbola hanya sebatas mencermati skor pertandingan dan menyoraki pemenangnya”

Andy Marhanedra

 

Akhir perjalanan hidup para bintang setelah sinarnya meredup. Beberapa legenda mengalami tekanan mental setelah pensiun

Bagi para penggemar sepakbola, Diego Armando Maradona adalah representasi keindahan tertinggi yang hadir dari lapangan hijau. Orang Argentina bahkan menganggapnya sebagai pahlawan nasional, sebagian memujanya sebagai “Tuhan” dan membuatkan ruang pemujaan bernama Gereja Maradona di Buenos Aires pada 2003.

Di balik segala kebintangannya, pemain paling popular versi jajak pendapat FIFA tersebut mempunyai perilaku yang tak patut untuk dicontoh para pengagumnya. Pemilik “Gol Tangan Tuhan” itu tenggelam dalam kecanduan alkohol dan obat bius yang merenggut karirnya dan hampir juga merenggut nyawanya. Konon, perkenalan Maradona dengan obat bius terjadi karena kedekatannya dengan bos-bos mafia saat bermain di Napoli.

Sebagai negara yang melahirkan sepakbola, Inggris pernah melahirkan pemain gelandang dengan teknik terhebat sepanjang sejarah negara Ratu Elizabeth itu. Dialah Paul Gascoigne atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gazza. Gazza mengalami depresi berkepanjangan yang membuatnya sulit keluar dari permasalahan hidupnya. Ia kecanduan alkohol dan narkoba. Setiap hari dia menghabiskan 35 butir pil psikotropika seharga 36 juta rupiah.

Ariel Ortega, pewaris nomor punggung 10 di tim nasional Argentina setelah  Maradona gantung sepatu juga sempat terjerat dalam candu alkohol. Setelah melanglangbuana di Liga Spanyol dan Italia, Ortega mendapatkan kekecewaan saat bermain di Fenerbahce, Turki. Setelah pulang kampung ke negaranya dan bermain di Newell’s Old Boys pada 2006 itulah ia mulai tidak bisa lepas dengan alkohol.

Ironi Garrincha (Brasil) dan George Best (Irlandia Utara) lebih tragis lagi. Keduanya berakhir dengan kematian akibat efek overdosis alkohol dan narkoba. Garrincha meninggal pada usia 49 tahun karena penyakit lever yang akut sedangkan Best meninggal pada usia 59 tahun akibat infeksi paru-paru. Jika Garrincha terjebak dalam jeratan alkohol karena depresi maka Best melakukannya karena gaya hidupnya yang “ngartis”.

Sementara di Italia, Gianluca Pessotto punya catatan hidup yang agak berbeda. Setelah menyatakan pensiun di usia 35 tahun, dia diangkat sebagai manajer Juventus. Saat muncul tuduhan pengaturan skor yang dilakukan Juventus sepanjang musim 2004/2005, hati Pessotto tak kuat menahan malu sampai akhirnya diduga melakukan upaya bunuh diri dengan meloncat dari lantai 3 kantor Juventus di Turin.

Entah apa yang membuat Pessotto terjatuh kala itu. Bisa tak sengaja, bisa pula seperti dugaan orang : upaya bunuh diri. Yang jelas, kejadian tersebut membangkitkan solidaritas di kalangan sepakbola Italia untuk mendukung kembali timnya di Piala Dunia. Efeknya bagi para pemain lebih jelas lagi : melipatgandakan semangat.

 

Sisi hitam sepakbola, rivalitas dan fanatisme para pendukung klub melahirkan teror, anarkisme bahkan perang ilmu gaib.

Tidak hanya pemain dan pelatih yang dituntut selalu on fire, keinginan para pendukung agar tim kebanggaannya meraih kemenangan juga membuat perangkat yang memimpin pertandingan harus tampil sempurna tanpa cela. Satu kesalahan dalam meniup peluit bisa berakibat fatal. Teror dan ancaman pembunuhan akan datang bahkan tak jarang menimpa anggota keluarga sang pengadil.

Howard Webb (Inggris), Andres Frisk (Swedia), Urs Meier (Swiss), Mauro Bergonzi (Italia), dan Herbert Fandel (Jerman) adalah deretan wasit top Eropa yang pernah merasakan teror yang menakutkan. Yang disebut kedua bahkan memilih pensiun dini karena tidak tahan dengan ancaman mati dari pendukung Chelsea. Penyebabnya, Frisk mengkartumerah striker Chelsea, Didier Drogba saat mereka berjumpa Barcelona pada pertandingan Liga Champion 2004/2005. 

Munculnya teror tidak hanya karena kebencian tetapi juga bisa timbul dari cinta yang berlebihan. Biasanya, ini menimpa para pemain idola yang menjadi ikon atau bintang dari tim yang didukung. Di Italia, pemain AC Milan asal Brasil, Kaka yang diisukan akan pindah ke Manchester City harus rela menerima gangguan dari para penggemar. Roberto Baggio yang menyeberang ke Juventus dari Fiorentina dan Gabriel Batistuta yang hengkang dari Fiorentina ke AS Roma adalah contoh korban teror  yang lain.

Rivalitas antar klub juga sering melahirkan pertikaian. Dalam hal ini, Argentina bisa dijadikan contoh terdepan. Perseteruan abadi antara Rivel Plate dengan Boca Junior tidak jarang mengakibatkan kerusuhan yang berujung kematian. Barrabravas – sebutan untuk pendukung garis keras di Argentina – bahkan sampai dianggap sebagai “penyakit sosial”.

Di Eropa, tidak ada dalam catatan sejarah, rivalitas antara pendukung Juventus dengan Liverpool. Tetapi kerusuhan antar pendukung dua klub yang terjadi di Stadion Heysel pada final Liga Champion 1985 tercatat sebagai satu dari sekian peristiwa terburuk dalam sejarah sepakbola modern. Sebanyak 39 orang tewas dan 600 orang lainnya harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka parah.

Di Benua Afrika, sejauh ini belum ditemukan catatan sejarah tentang rivalitas pendukung antar klub. Yang identik dengan benua hitam ini adalah justru tentang isu ilmu hitam. khususnya dalam kancah sepakbola. Masing-masing negara di Afrika punya tradisi ilmu gaib yang berbeda tetapi Juju (ritual klenik khas Afrika bagian barat) adalah yang paling terkenal. Puleez, sebutan untuk dukun Juju punya cara kerja dan ramuan yang berbeda-beda. Media yang paling terkenal yaitu potongan tangan monyet dan gading gajah. Entah bagaimana cara kerjanya, yang jelas pengaruh pemakaian juju ini diakui secara terbuka oleh beberapa tokoh sepakbola di Afrika.

Selain juju, Afrika juga menyimpan keunikan lainnya, yaitu Vuvuzela. Vuvuzela adalah terompet yang terbuat dari tanduk antelop dan biasanya dipakai dalam upacara keagamaan. Waktu terus berlalu sampai akhirnya Vuvuzela identik dengan suporter sepakbola. Karena pengaruhnya yang cenderung negatif (menimbulkan kebisingan yang luar biasa) di beberapa negara mulai dilarang untuk dibunyikan.

 

Jika  ada olahraga yang paling lengkap mewakili dan mengungkapkan berbagai sisi kehidupan, itulah sepakbola

Andy Marhaendra

 

Peran keluarga terhadap karir pemain sepakbola dan perdebatan tentang boleh-tidaknya melakukan hubungan seks di tengah kejuaraan.

Sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006, waktu itu Jerman dilatih oleh salah satu putra terbaiknya : Juergen Klinsmann. Tetapi sosok penting yang tak boleh dilupakan adalah “Sang Kaisar” Franz Beckenbauer. Beckenbauer yang sukses mempersembahkan dua gelar juara bagi negaranya baik saat menjadi pemain (1974) dan sebagai pelatih (1990) menjadi faktor penting atas terpilihnya Jerman sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006. Bahkan oleh pemerintah Jerman, dia ditunjuk menjadi Presiden Pelaksana Turnamen.

Di lapangan hijau, Beckenbauer adalah panutan Klinsmann. Tetapi tidak untuk urusan rumah tangga. Jika Beckenbauer suka berganti-ganti pasangan, Klinsi – nama panggilan Klinsmann – begitu setia dengan mahligai yang ia bangun bersama Debbie Chin, perempuan keturunan Cina yang telah memberinya dua “malaikat kecil”. Kesetiaan itu pula yang membuatnya menuai kritik dari publik Jerman karena lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarganya di California, Amerika Serikat daripada mendampingi tim asuhannya berlatih di Berlin.

Bagi Klinsmann, keluarga memberinya suntikan energi dan sumber inspirasi untuk gaya sepakbola Jerman yang baru. Dan, meski akhirnya gagal lolos ke final, Klinsmann tetap mendapat apresiasi karena permainan Der Panser – julukan tim nasional Jerman – dianggap atraktif dan menghibur. Klinsmann telah berhasil melakukan revolusi metode latihan dan gaya bermain Jerman keluar dari pakem yang telah dipegang bertahun-tahun.

Senada dengan Klinsmann, bintang Perancis, Zinedine Zidane juga adalah sosok panutan soal kecintaan dan kesetiaan kepada keluarga. Setelah berhasil membawa Perancis menjadi juara Piala Dunia 1998, Zizou – sapaan akrab Zidane – dibanjiri e-mail dan surat dari para gadis penggemarnya untuk menawarkan “cinta”. Tetapi Zidane tidak goyah sedikitpun. Hatinya tetap untuk Veronique, wanita yang dinikahinya pada 1993 dan telah memberinya dua orang putra. Bagi Zidane, Veronique adalah sosok yang membuat hidupnya berubah dan meraih banyak kesuksesan sebagai pemain sepak bola. sehingga wajar jika ia ingin mendedikasikan sisa hidupnya untuk istri dan anak-anaknya.

Soal pendekatan keluarga, Guus Hiddink melakukannya berbeda saat menangani tim nasional Rusia. Selama bertahun-tahun Tim Beruang Merah – julukan tim nasional Rusia – digembleng dengan metode latihan bergaya militer yang diberi nama Sbori. Tetapi Hidding melakukan revolusi. Pelatih berkebangsaan Belanda itu tetap membebaskan para pemainnya bersantai dan berkumpul dengan keluarga meski di tengah perhelatan akbar Piala Dunia. Hiddink tidak khawatir fokus dan konsentrasi pemainnya terganggu. Justru hal itu dapat mempermudah program dan taktik yang dipersiapkan oleh pelatih asing pertama bagi tim nasional Rusia itu.

Jajaran pelatih tim nasional yang sependapat dengan Hiddink soal membiarkan para pemain “berhubungan” dengan pasangannya adalah Carlos Alberto Parreira (Brasil), Juergen Klinsmann (Jerman), Sven Goran Eriksson (Inggris), Jose Pekerman (Argentina) dan Raymond Domenech (Perancis). Sementara bagi Oleg Blokhin (Ukraina), dia memperbolehkan para pemainnya bersenang-senang dengan keluarganya dengan syarat pencapaian tertentu.

Prinsip berbeda dipegang oleh Marcelo Lippi (Italia) dan Luis Felipe Scolari (Portugal). Membiarkan para pemain bertemu dan berkumpul dengan pasangan atau keluarganya dapat mengganggu fokus pemain. Sehingga keduanya membuat aturan tegas dan mengisolasi para pemainnya dari “godaan” para pasangannya.


Kesimpulan buku 

  1. Sebagai olahraga yang paling digandrungi di muka bumi ini, sepakbola memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan.
  2. Para pelaku sepakbola, di balik kemampuan tekniknya yang memukau, popularitas yang menggiurkan, mereka tetap adalah manusia biasa yang mempunyai sisi buruk untuk jadi pelajaran dan tidak untuk ditiru.
  3.  Seperti dua sisi mata uang, sepakbola memberikan efek yang positif sekaligus meninggalkan efek yang negatif.
  4.  Meskipun sudah dilengkapi dengan perangkat teknologi, sepakbola tetaplah permainan olahraga yang tak bisa meninggalkan unsur manusiawinya. Disitulah sering sepakbola menjadi menarik.

 



[1] Tulisan resume ini ditulis oleh Budi Ismail, seorang pendidik di SMA Walisongo Pecangaan Jepara yang sejak kecil sangat menggemari sepakbola, bisa dihubungi melalui e-mail dimaskreatif@gmail.com, Facebook Budi Ismail, Instagram @bud11smail.

07 Juli 2023

Sistem Zonasi Menghambat Prestasi. Benarkah?




Sistem zonasi pertama kali diterapkan pada tahun 2017. Dasarnya adalah Permendikbud nomor 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru jenjang SD, SMP, SMA dan yang sederajat. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa sasaran kebijakan sistem zonasi adalah SD negeri, SMP negeri dan SMA negeri. Selain tiga kelompok sekolah tersebut, bebas menerapkan kebijakan penerimaan peserta didik baru secara mandiri.

Sistem zonasi merupakan sistem penerimaan peserta didik baru yang didasarkan pada radius zona domisili calon peserta didik yang terdekat dengan sekolah. Penentuan zonanya diatur oleh pemerintah daerah masing-masing.[1] Regulasi yang digulirkan oleh Muhadjir Effendy selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu mempunyai tujuan yang mulia. Diantaranya percepatan pemerataan akses dan kualitas layanan pendidikan. Selain itu pemerintah ingin menghapus “kasta” dalam sistem pendidikan di Indonesia. Tidak boleh lagi ada label sekolah favorit dan tidak favorit.

 

Sistem zonasi di mata orang tua

Meskipun dari tahun ke tahun pemerintah telah melakukan penyempurnaan aturan pelaksanaan sistem tersebut, faktanya masalah baru selalu bermunculan. Kerancuan dalam penafsiran kebijakan oleh pemerintah daerah dan pimpinan sekolah adalah salah satu penyebabnya. Perbedaan dalam memahami dan menerapkan kebijakan dari pemerintah pusat memberi celah bagi calon peserta didik untuk bertindak curang.

Keinginan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri favorit pilihannya, seringkali membuat para orang tua melakukan segala cara agar cita-cita mereka terpenuhi. Termasuk menempuh cara-cara yang tidak jujur. Ada yang memalsukan surat keterangan domisili, kartu keluarga, sampai dengan menggeser titik lokasi di google maps agar bisa masuk zona sekolah yang diinginkan.

Orang tua menyekolahkan anaknya berarti memberinya fasilitas dan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Tujuannya agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang beriman, berilmu dan berakhlak. Tetapi, bagaimana mungkin, orang tua menginginkan anak-anaknya kelak menjadi insan yang jujur sementara cara yang ditempuh jauh dari prinsip kejujuran. Mereka ingin anak-anaknya berakhlak baik tetapi para orang tua justru memberikan contoh akhlak yang buruk.

 

Sistem zonasi bagi sekolah negeri

Tidak hanya muncul dari eksternal sekolah, penerapan sistem zonasi juga banyak dikeluhkan oleh pihak internal sekolah. Bukan karena prosedur dan administrasi pendaftarannya yang merepotkan melainkan lebih pada dampak yang ditimbulkan.

Bagi sekolah negeri, terutama yang selama ini berlabel favorit, sistem zonasi mengakibatkan menurunnya kualitas input peserta didik. Dahulu, sebelum sistem zonasi diberlakukan, sekolah negeri favorit bisa memperoleh input peserta didik berpotensi dan berprestasi dengan sangat mudah. Bahkan stoknya sampai “melimpah ruah”. Mereka tinggal menyaringnya dengan tahapan seleksi yang mereka tentukan secara mandiri.

Hubungan simbiosis mutualisme. Sekolah negeri favorit membutuhkan peserta didik terbaik agar bisa terus menjaga eksistensi prestasi dan prestise sekolah. Sementara peserta didik berprestasi juga butuh sekolah yang benar-benar mampu mengembangkan potensi yang dimiliki dan meningkatkan prestasinya.

Sejak era sistem zonasi dimulai, sekolah negeri mulai sulit mendapatkan stok “bibit unggul”. Memang masih ada peluang melalui jalur prestasi tetapi persentase kuotanya tentu sangat kecil. Sehingga alih-alih memacu prestasi sekolah, para guru di sekolah negeri kini justru dipusingkan dengan pengelolaan kelas dan pembinaan peserta didik.

Barangkali karena mereka terlalu lama berada di zona nyaman. Menikmati asyiknya mengajar peserta didik unggulan. Anak-anak yang mempunyai intelegensi di atas rata-rata, motivasi belajar tinggi, dan kondisi ekonomi orang tua mapan, tentu tugas guru menjadi lebih ringan. Cukup sedikit sentuhan dan polesan maka butiran-butiran mutiara itu akan mengilap. Ibarat mesin, hanya dengan sekali klik tombol di remote control maka mesin akan berjalan seperti yang mereka inginkan.

Berbeda dengan kondisi sekarang. Sekolah negeri kini tidak lagi menjadi muara anak-anak yang terlahir dengan bakat luar biasa. Karena sebagian besar yang masuk adalah para “tetangga” sekolah yang mempunyai tingkat kecerdasan beragam. Latar belakang ekonomi dan sosial keluarga juga bermacam-macam. Mengajar peserta didik dengan kondisi heterogen seperti itu tentu jauh lebih sulit dan menantang. Butuh kreativitas, kerja keras dan kesabaran tinggi. Kondisi inilah yang mereka keluhkan.


Keluhan sistem zonasi di sekolah swasta

Bagaimana dengan sekolah swasta? Ternyata keluhan muncul juga. Terutama dari sekolah swasta yang “kurang punya nama”. Penyebabnya adalah jumlah penerimaan peserta didik baru yang semakin menurun. Mereka berdalih, penerapan sistem zonasi menjadi biang keladinya.

Selama ini salah satu target pasar mereka yakni para calon peserta didik dengan nilai akademik pas-pasan dan kalah bersaing masuk sekolah negeri. Kebutuhan akan kuantitas input peserta didik membuat sekolah swasta menerapkan aturan persyaratan dan sistem seleksi masuk yang sangat ringan. Kualitas calon peserta didik belum menjadi prioritas.

Setelah sistem zonasi diterapkan, calon peserta didik yang selama ini menjadi target pasar mereka kini mempunyai peluang besar masuk sekolah negeri. Apalagi jika lokasi sekolah swasta berdekatan dengan sekolah negeri. Tentu persaingan memperebutkan calon peserta didik baru semakin berat. Akhirnya, tidak sedikit sekolah swasta yang sepi peminat bahkan terancam gulung tikar.

 

 Lantas, bagaimana solusi menghadapi kebijakan sistem zonasi ?

Benarkah sistem zonasi hanyalah sebuah kebijakan yang merepotkan? Sekali lagi, perlu dipahami dan diingat tujuan sistem itu diterapkan. Kalau sekolah hanya mau menerima peserta didik yang berkualitas, lantas mereka yang kemampuannya terbatas harus mencari sekolah di mana? Kalau guru mengeluh menghadapi peserta didik yang lambat dalam menyerap materi pelajaran, lalu apa sebenarnya fungsi profesi yang dia sandang?

Bukankah yang membutuhkan bimbingan, arahan dan pengajaran ekstra adalah anak-anak dengan keterbatasan kemampuan? Perhatian lebih juga harusnya ditunjukkan oleh guru dan pimpinan sekolah kepada para peserta didik dari keluarga kurang mampu ataupun broken home. Karena memang itulah fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan dan guru sebagai pendidik.

Bagi sekolah swasta, semestinya tidak perlu takut dengan sistem zonasi. Kalau ingin berkembang dan besar maka sekolah harus mendapat kepercayaan dari masyarakat. Agar dipercaya masyarakat maka sekolah harus memberikan layanan pendidikan yang prima. Layanan pendidikan yang prima tidak selalu harus bergantung dari kebijakan pemerintah.

Inovasi dan kreativitas dalam menyusun program yang menjadi unggulan sekolah sangat diperlukan. Sekolah perlu melihat ke dalam, mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Lalu menatap keluar, meneropong potensi lingkungan dan ancaman dari pesaing. Dari situ bisa dirumuskan langkah-langkah strategis untuk memajukan sekolah. Dalam hal ini, pimpinan sekolah juga harus mengajak para stakeholder untuk duduk bersama.

Jika selama ini sekolah swasta cenderung sulit bersaing dalam bidang prestasi akademik maka mereka bisa fokus dalam program pengembangan bidang nonakademik. Misalnya pembinaan prestasi olahraga, pengembangan keterampilan dan kewirausahaan atau pembinaan bidang kesenian. Dari sekian banyak potensi yang dimiliki, sekolah bisa mengangkat satu bidang untuk dijadikan program unggulan. Kalau sekolah konsisten dalam menjalankan programnya maka itu bisa menjadi school branding.

School branding tidak hanya melalui kegiatan prestasi tetapi bisa juga kegiatan nonprestasi. Program pembiasaan karakter yang menjadi budaya sekolah bisa diangkat menjadi keunggulan dan brand sekolah. Misalnya sekolah ramah anak, sekolah jujur, sekolah bersih, sekolah berakhlak dan lain-lain.

Seperti dua sisi mata uang. Segala sesuatu pasti ada sisi baik dan buruknya. Postif dan negatif, manfaat dan mudarat. Apa yang kita rasakan tergantung dari cara pandang kita terhadap suatu masalah. Jika kita berpikir positif maka insyaallah hal-hal baik yang akan kita terima. Sebaliknya jika pikiran kita dipenuhi dengan prasangka-prasangka buruk maka bisa jadi hal-hal tidak baik yang akan datang dalam hidup kita. Naudzubillah min dzalik.

Jadi, daripada kita berlarut-larut menangisi sistem zonasi, lebih baik kita kerahkan energi kita untuk mencari solusi yang inovatif dan progresif.

***




[1] Khadowmi, E. R. (2019). Implementasi Kebijakan Sistem Zonasi terhadap Proses Penerimaan Peserta Didik Baru Kabupaten Lampung Tengah. In Thesis. Lampung: Universitas Bandar Lampung.