Ceceran
Kisah yang Jarang Terungkap dalam Sejarah Sepakbola Dunia
(Resume buku yang ditulis oleh Andy Marhaendra)
Dari Sihir Afrika Hingga Gereja Maradona (2010),
adalah sekumpulan artikel menarik yang memotret kisah di dalam dan di luar
lapangan dalam sejarah sepakbola dunia yang jarang diungkap dan diketahui oleh
para penikmat sepakbola. Menikmati sepakbola tidak hanya sebatas mencermati
skor pertandingan dan menyoraki pemenangnya. Kisah kehidupan para pelakunya tak
kalah menarik dibandingkan dengan film-film box office atau novel bestseller
sekalipun. Kisah drama itu pula yang membuat sepakbola tidak pernah
kehilangan penggemar dan selalu menarik untuk ditonton.
Siapa penulis buku ini?
Andy Marhaendra adalah lulusan Sastra Indonesia
di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang cukup lama berkarir di berbagai media cetak. Di
antaranya adalah majalah sepakbola Sportif (Juni 1998-Desember 2003),
majalah Tempo (Maret 2004-Oktober 2004) dan Koran Tempo (November
2004-Mei 2009).
Untuk siapa buku ini?
- Para penggemar sepakbola
yang ingin mengetahui lebih dalam tentang catatan sejarah atau kisah para tokoh
sepakbola dunia.
- Siapapun yang ingin menambah
wawasan dan pengetahuan tentang sepakbola.
Apa yang dibahas buku ini?
Berbagai drama
yang terjadi di balik serunya pertandingan di lapangan hijau dan kisah menarik
kehidupan di luar lapangan para pelaku sepakbola dunia.
Sepakbola adalah euforia dunia. Meskipun tidak
didukung data resmi, bisa dibilang lebih dari setengah penduduk dunia adalah
penggemar sepakbola. Namun, jangan lupakan juga bahwa sepakbola bukan sekadar
olahraga permainan 2 x 45 menit di atas hamparan rumput lapangan hijau. Jika
ada olahraga yang paling lengkap mewakili dan mengungkapkan berbagai sisi
kehidupan, itulah sepakbola. Seperti halnya kehidupan, begitu banyak drama yang
terjadi dalam permainan olahraga tua ini. Selebrasi, sensasi, konflik, intrik
dan tragedi silih berganti menghiasi aksi para seniman bola memainkan si kulit
bundar.
Buku ini diterbitkan di saat masyarakat
pencinta sepakbola dunia sedang menanti perhelatan akbar 4 tahunan, World
Cup 2010 yang berlangsung di benua Afrika, tepatnya di negara Afrika
Selatan. Berbagai kisah baik di dalam maupun di luar lapangan khususnya yang
menyangkut tim-tim kontestan pesta sepakbola terbesar di dunia itu diceritakan
dengan sangat menarik dalam buku ini.
Hal-hal menarik yang
bisa kita pelajari antara lain:
- Apa hal positif yang terjadi dari sebuah penyelenggaraan
pertandingan sepakbola, khususnya Piala Dunia?
- Bagaimana kisah kehidupan para bintang sepakbola dunia?
- Apa sisi negatif dari sepakbola yang pernah terjadi?
- Bagaimana keluarga dapat mempengaruhi kesuksesan karir
pemain sepakbola?
Piala Dunia mampu
mempersatukan berbagai kelompok, meredakan ketegangan politik dan membangkitkan
nasionalisme
Spanyol tak pernah absen melahirkan bakat-bakat
besar pemain sepakbola, tetapi sampai Piala Dunia 2006 digelar, Tim Matador –
julukan tim nasional Spanyol – belum pernah sekalipun mencicipi manisnya gelar
juara dunia. Lantas apa masalahnya ? Nasionalisme. Para pemain yang dipanggil
ke tim nasional selalu kesulitan menemukan kohesitas sebagai sebuah tim. Mereka
masih merasakan sebagai orang-orang yang berbeda, bukan kesatuan Spanyol. Satu
pemain merasa sebagai orang Galisia, yang lain sebagai Catalonia, Castilia atau
Basque. “Kepingan” semangat itulah yang ingin disatukan Luis Aragones, pelatih
tim Spanyol saat berlaga di Piala Dunia 2010 dan meraih juara untuk pertama
kalinya.
Sebagai dua negara bertetangga, Korea Selatan
dan Jepang memiliki catatan panjang sejarah kelam di masa lalu, yakni Perang
Dunia II dan sengketa wilayah di Kepulauan Dokdo. Saat FIFA menunjuk Korea
Selatan dan Jepang menjadi tuan rumah bersama pada Piala Dunia 2002, dunia
berharap kedua negara tersebut berdamai dan melupakan masa lalu. Dan, meski
“bumbu-bumbu” ketidakharmonisan masih terasa, kedua negara tersebut mampu
berkolaborasi sehingga kejuaraan berhasil digelar dengan sukses dan menjadi trendsetter
penyelenggaraan Piala Dunia di dua negara.
Sekian lama masyarakat Jerman hidup di bawah
bayang-bayang kediktatoran Adolf Hitler. Hal ini membuat mereka malu dan merasa
kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa. Bahkan untuk menyanyikan lagu
kebangsaan dan mengibarkan bendera negaranya sendiri mereka tidak percaya diri.
Tetapi status sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006 menjadi momentum bagi Jerman
untuk menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme warga negaranya. David Odonkor
dan Gerald Asamoah, dua pemain berkulit hitam pun masuk lapangan dengan gagah
dan bangga sebagai bagian dari tim nasional Jerman. Satu pemandangan yang tidak
mungkin terjadi di zamannya Hitle
Bagi Ukraina, sepakbola mempunyai makna
perlawanan dan nasionalisme. Saat masih bersama Uni Soviet, bahasa Ukraina
tertindas oleh bahasa Rusia. Sepakbola menjadi satu-satunya bahasa bagi mereka
untuk menunjukkan identitas. Uniknya, dua tokoh bernama Shevchenko menjadi
“aktor" bangkitnya semangat nasionalisme orang Ukraina. Shevchenko yang
pertama adalah seorang seniman bernama Taras Hryhorovych Shecvhenko yang
menggugah kesadaran orang Ukraina lewat ratusan puisi dan lukisan-lukisannya.
Dan yang kedua adalah Andriy Shevchenko, striker sekaligus kapten yang membawa
tim nasional Ukraina tampil di Piala Dunia untuk pertama kalinya.
Saat kualifikasi Piala Dunia 2006,
Serbia-Montenegro masih merupakan satu negara. Tetapi kurang dari sebulan
menjelang tampil di putaran final, melalui referendum akhirnya mayoritas
masyarakat Montenegro memilih “bercerai” dengan Serbia. Lantas bagaimana dengan
skuad yang telah dipersiapkan untuk berlaga di Piala Dunia?. Tim itu berangkat
dengan bendera Serbia tetapi ada dua pemain yang berasal Montenegro, yakni
kiper Dragoslav Jevric dan stopper Mladen Krstajic. Bukannya dikucilkan
atau “dibuang”, 21 kolega Jevric dan Krstajic di tim nasional justru memberi
dukungan dan saling menguatkan. Di sini, sepakbola benar-benar telah
menyatukan.
Penjara Pulau Robben di Afrika Selatan
menyimpan kenangan buruk bagi Nelson Mandela. Di sana, Mandela bersama dengan
1.400 tahanan yang lain menjalani hukuman yang sebagian besar adalah tahanan
politik akibat Rezim Apherteid. Mereka merasa harapan dan segala impian
telah mati. Hanya satu yang menyisakan gairah kehidupan bagi mereka :
sepakbola. Satu-satunya hiburan yang bisa mereka mainkan setiap akhir pekan.
Dan ketika Mandela keluar dari penjara, sampai kemudian FIFA memutuskan Piala
Dunia 2010 bertempat di Afrika Selatan, ini seperti penghormatan bagi mereka.
Tidak hanya orang Afrika Selatan tetapi juga seluruh benua Afrika.
Profesionalisme dan nasionalisme para kontestan
Piala Dunia benar-benar diuji. Hal ini karena beberapa dari mereka harus
bertarung dengan negaranya sendiri. Zico yang berstatus pelatih Jepang harus
menghadapi tanah kelahirannya, Brasil. Sven-Goran Eriksson yang menukangi
Inggris, akan melawan bangsanya sendiri, Swedia. Para pemain yang menyeberang
ke negara lain demi bisa tampil di Piala Dunia juga harus menunjukkan
nasionalisme untuk negara barunya. Mehmet Aurelio (Brasil ke Turki), Pepe
(Brasil ke Portugal), Deco (Brasil ke Portugal), dan Marcos Senna (Brasil ke
Spanyol) adalah contoh.
“Kurang lengkap rasanya bila menggemari sepakbola hanya
sebatas mencermati skor pertandingan dan menyoraki pemenangnya”
Andy Marhanedra
Akhir perjalanan hidup para
bintang setelah sinarnya meredup. Beberapa legenda mengalami tekanan mental
setelah pensiun
Bagi para penggemar sepakbola, Diego Armando Maradona
adalah representasi keindahan tertinggi yang hadir dari lapangan hijau. Orang
Argentina bahkan menganggapnya sebagai pahlawan nasional, sebagian memujanya
sebagai “Tuhan” dan membuatkan ruang pemujaan bernama Gereja Maradona di Buenos
Aires pada 2003.
Di balik segala kebintangannya, pemain paling
popular versi jajak pendapat FIFA tersebut mempunyai perilaku yang tak patut
untuk dicontoh para pengagumnya. Pemilik “Gol Tangan Tuhan” itu tenggelam dalam
kecanduan alkohol dan obat bius yang merenggut karirnya dan hampir juga
merenggut nyawanya. Konon, perkenalan Maradona dengan obat bius terjadi karena
kedekatannya dengan bos-bos mafia saat bermain di Napoli.
Sebagai negara yang melahirkan sepakbola,
Inggris pernah melahirkan pemain gelandang dengan teknik terhebat sepanjang
sejarah negara Ratu Elizabeth itu. Dialah Paul Gascoigne atau yang lebih
dikenal dengan panggilan Gazza. Gazza mengalami depresi berkepanjangan yang
membuatnya sulit keluar dari permasalahan hidupnya. Ia kecanduan alkohol dan
narkoba. Setiap hari dia menghabiskan 35 butir pil psikotropika seharga 36 juta
rupiah.
Ariel Ortega, pewaris nomor punggung 10 di tim
nasional Argentina setelah Maradona
gantung sepatu juga sempat terjerat dalam candu alkohol. Setelah
melanglangbuana di Liga Spanyol dan Italia, Ortega mendapatkan kekecewaan saat
bermain di Fenerbahce, Turki. Setelah pulang kampung ke negaranya dan bermain
di Newell’s Old Boys pada 2006 itulah ia mulai tidak bisa lepas dengan alkohol.
Ironi Garrincha (Brasil) dan George Best
(Irlandia Utara) lebih tragis lagi. Keduanya berakhir dengan kematian akibat
efek overdosis alkohol dan narkoba. Garrincha meninggal pada usia 49 tahun
karena penyakit lever yang akut sedangkan Best meninggal pada usia 59 tahun
akibat infeksi paru-paru. Jika Garrincha terjebak dalam jeratan alkohol karena
depresi maka Best melakukannya karena gaya hidupnya yang “ngartis”.
Sementara di Italia, Gianluca Pessotto punya
catatan hidup yang agak berbeda. Setelah menyatakan pensiun di usia 35 tahun, dia
diangkat sebagai manajer Juventus. Saat muncul tuduhan pengaturan skor yang
dilakukan Juventus sepanjang musim 2004/2005, hati Pessotto tak kuat menahan
malu sampai akhirnya diduga melakukan upaya bunuh diri dengan meloncat dari
lantai 3 kantor Juventus di Turin.
Entah apa yang membuat Pessotto terjatuh kala
itu. Bisa tak sengaja, bisa pula seperti dugaan orang : upaya bunuh diri. Yang
jelas, kejadian tersebut membangkitkan solidaritas di kalangan sepakbola Italia
untuk mendukung kembali timnya di Piala Dunia. Efeknya bagi para pemain lebih
jelas lagi : melipatgandakan semangat.
Sisi hitam sepakbola, rivalitas
dan fanatisme para pendukung klub melahirkan teror, anarkisme bahkan perang
ilmu gaib.
Tidak hanya pemain dan pelatih yang dituntut
selalu on fire, keinginan para pendukung agar tim kebanggaannya meraih
kemenangan juga membuat perangkat yang memimpin pertandingan harus tampil
sempurna tanpa cela. Satu kesalahan dalam meniup peluit bisa berakibat fatal. Teror
dan ancaman pembunuhan akan datang bahkan tak jarang menimpa anggota keluarga
sang pengadil.
Howard Webb (Inggris), Andres Frisk (Swedia),
Urs Meier (Swiss), Mauro Bergonzi (Italia), dan Herbert Fandel (Jerman) adalah
deretan wasit top Eropa yang pernah merasakan teror yang menakutkan. Yang
disebut kedua bahkan memilih pensiun dini karena tidak tahan dengan ancaman
mati dari pendukung Chelsea. Penyebabnya, Frisk mengkartumerah striker Chelsea,
Didier Drogba saat mereka berjumpa Barcelona pada pertandingan Liga Champion
2004/2005.
Munculnya teror tidak hanya karena kebencian
tetapi juga bisa timbul dari cinta yang berlebihan. Biasanya, ini menimpa para
pemain idola yang menjadi ikon atau bintang dari tim yang didukung. Di Italia,
pemain AC Milan asal Brasil, Kaka yang diisukan akan pindah ke Manchester City
harus rela menerima gangguan dari para penggemar. Roberto Baggio yang
menyeberang ke Juventus dari Fiorentina dan Gabriel Batistuta yang hengkang
dari Fiorentina ke AS Roma adalah contoh korban teror yang lain.
Rivalitas antar klub juga sering melahirkan
pertikaian. Dalam hal ini, Argentina bisa dijadikan contoh terdepan.
Perseteruan abadi antara Rivel Plate dengan Boca Junior tidak jarang
mengakibatkan kerusuhan yang berujung kematian. Barrabravas – sebutan
untuk pendukung garis keras di Argentina – bahkan sampai dianggap sebagai
“penyakit sosial”.
Di Eropa, tidak ada dalam catatan sejarah,
rivalitas antara pendukung Juventus dengan Liverpool. Tetapi kerusuhan antar
pendukung dua klub yang terjadi di Stadion Heysel pada final Liga Champion 1985
tercatat sebagai satu dari sekian peristiwa terburuk dalam sejarah sepakbola
modern. Sebanyak 39 orang tewas dan 600 orang lainnya harus dilarikan ke rumah
sakit karena mengalami luka parah.
Di Benua Afrika, sejauh ini belum ditemukan
catatan sejarah tentang rivalitas pendukung antar klub. Yang identik dengan
benua hitam ini adalah justru tentang isu ilmu hitam. khususnya dalam kancah
sepakbola. Masing-masing negara di Afrika punya tradisi ilmu gaib yang berbeda
tetapi Juju (ritual klenik khas Afrika bagian barat) adalah yang paling
terkenal. Puleez, sebutan untuk dukun Juju punya cara kerja dan
ramuan yang berbeda-beda. Media yang paling terkenal yaitu potongan tangan
monyet dan gading gajah. Entah bagaimana cara kerjanya, yang jelas pengaruh
pemakaian juju ini diakui secara terbuka oleh beberapa tokoh sepakbola
di Afrika.
Selain juju, Afrika juga menyimpan
keunikan lainnya, yaitu Vuvuzela. Vuvuzela adalah terompet yang
terbuat dari tanduk antelop dan biasanya dipakai dalam upacara keagamaan. Waktu
terus berlalu sampai akhirnya Vuvuzela identik dengan suporter
sepakbola. Karena pengaruhnya yang cenderung negatif (menimbulkan kebisingan
yang luar biasa) di beberapa negara mulai dilarang untuk dibunyikan.
“Jika ada olahraga
yang paling lengkap mewakili dan mengungkapkan berbagai sisi kehidupan, itulah
sepakbola”
Andy Marhaendra
Peran keluarga terhadap karir
pemain sepakbola dan perdebatan tentang boleh-tidaknya melakukan hubungan seks
di tengah kejuaraan.
Sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006, waktu itu
Jerman dilatih oleh salah satu putra terbaiknya : Juergen Klinsmann. Tetapi
sosok penting yang tak boleh dilupakan adalah “Sang Kaisar” Franz Beckenbauer.
Beckenbauer yang sukses mempersembahkan dua gelar juara bagi negaranya baik
saat menjadi pemain (1974) dan sebagai pelatih (1990) menjadi faktor penting
atas terpilihnya Jerman sebagai tuan rumah Piala Dunia 2006. Bahkan oleh
pemerintah Jerman, dia ditunjuk menjadi Presiden Pelaksana Turnamen.
Di lapangan hijau, Beckenbauer adalah panutan
Klinsmann. Tetapi tidak untuk urusan rumah tangga. Jika Beckenbauer suka
berganti-ganti pasangan, Klinsi – nama panggilan Klinsmann – begitu setia
dengan mahligai yang ia bangun bersama Debbie Chin, perempuan keturunan Cina yang
telah memberinya dua “malaikat kecil”. Kesetiaan itu pula yang membuatnya
menuai kritik dari publik Jerman karena lebih sering menghabiskan waktu bersama
keluarganya di California, Amerika Serikat daripada mendampingi tim asuhannya
berlatih di Berlin.
Bagi Klinsmann, keluarga memberinya suntikan
energi dan sumber inspirasi untuk gaya sepakbola Jerman yang baru. Dan, meski
akhirnya gagal lolos ke final, Klinsmann tetap mendapat apresiasi karena
permainan Der Panser – julukan tim nasional Jerman – dianggap atraktif
dan menghibur. Klinsmann telah berhasil melakukan revolusi metode latihan dan
gaya bermain Jerman keluar dari pakem yang telah dipegang bertahun-tahun.
Senada dengan Klinsmann, bintang Perancis,
Zinedine Zidane juga adalah sosok panutan soal kecintaan dan kesetiaan kepada
keluarga. Setelah berhasil membawa Perancis menjadi juara Piala Dunia 1998,
Zizou – sapaan akrab Zidane – dibanjiri e-mail dan surat dari para gadis
penggemarnya untuk menawarkan “cinta”. Tetapi Zidane tidak goyah sedikitpun.
Hatinya tetap untuk Veronique, wanita yang dinikahinya pada 1993 dan telah
memberinya dua orang putra. Bagi Zidane, Veronique adalah sosok yang membuat
hidupnya berubah dan meraih banyak kesuksesan sebagai pemain sepak bola.
sehingga wajar jika ia ingin mendedikasikan sisa hidupnya untuk istri dan
anak-anaknya.
Soal pendekatan keluarga, Guus Hiddink
melakukannya berbeda saat menangani tim nasional Rusia. Selama bertahun-tahun
Tim Beruang Merah – julukan tim nasional Rusia – digembleng dengan metode
latihan bergaya militer yang diberi nama Sbori. Tetapi Hidding melakukan
revolusi. Pelatih berkebangsaan Belanda itu tetap membebaskan para pemainnya
bersantai dan berkumpul dengan keluarga meski di tengah perhelatan akbar Piala
Dunia. Hiddink tidak khawatir fokus dan konsentrasi pemainnya terganggu. Justru
hal itu dapat mempermudah program dan taktik yang dipersiapkan oleh pelatih
asing pertama bagi tim nasional Rusia itu.
Jajaran pelatih tim nasional yang sependapat
dengan Hiddink soal membiarkan para pemain “berhubungan” dengan pasangannya
adalah Carlos Alberto Parreira (Brasil), Juergen Klinsmann (Jerman), Sven Goran
Eriksson (Inggris), Jose Pekerman (Argentina) dan Raymond Domenech (Perancis).
Sementara bagi Oleg Blokhin (Ukraina), dia memperbolehkan para pemainnya
bersenang-senang dengan keluarganya dengan syarat pencapaian tertentu.
Prinsip berbeda dipegang oleh Marcelo Lippi
(Italia) dan Luis Felipe Scolari (Portugal). Membiarkan para pemain bertemu dan
berkumpul dengan pasangan atau keluarganya dapat mengganggu fokus pemain.
Sehingga keduanya membuat aturan tegas dan mengisolasi para pemainnya dari
“godaan” para pasangannya.
Kesimpulan buku
- Sebagai olahraga yang paling
digandrungi di muka bumi ini, sepakbola memiliki peran yang sangat penting
dalam berbagai aspek kehidupan.
- Para pelaku sepakbola, di
balik kemampuan tekniknya yang memukau, popularitas yang menggiurkan, mereka
tetap adalah manusia biasa yang mempunyai sisi buruk untuk jadi pelajaran dan
tidak untuk ditiru.
- Seperti dua sisi mata uang,
sepakbola memberikan efek yang positif sekaligus meninggalkan efek yang
negatif.
- Meskipun sudah dilengkapi
dengan perangkat teknologi, sepakbola tetaplah permainan olahraga yang tak bisa
meninggalkan unsur manusiawinya. Disitulah sering sepakbola menjadi menarik.